MAKALAH ATRIBUSI



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada kecenderungan umum pada seseorang ketika bertemu dengan orang lain yang belum dikenalkan untuk memberi penilaian atau untuk mengetahui seperti apa orang yang dijumpainya itu.
Kecenderungan untuk memberi suatu cap tertentu pada seseorang masih juga terlihat pada masa-masa seperti sekarang, dimana hubungan antar-individu terasa semakin merenggang. Fenomena ini menarik penulis untuk mempelajari lebih lanjut sehingga muncul teori-teori atribusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Atribusi?
2. Bagaimana teori dari tokoh Atribusi ?
3. Apakah yang dimaksud bias dalam Atribusi  dan apa saja macamnya ?
4. Bagaimana pandangan Islam tentang Atribusi ?


PEMBAHASAN

A. TEORI ATRIBUSI
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah disposisi pada orang bersangkutan. Dengan demikian teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa atribusi juga dapat diartikan dengan upaya kita untuk memahami penyebab dibalik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab perilaku kita sendiri. Untuk mengetahui tentang orang-orang yang ada disekitar kita dapat melalui beberapa macam cara:

1. Melihat apa yang tampak (fisik) misalnya cara berpakaian, cara penampilan diri.
2. Menanyakan langsung kepada yang bersangkutan misalnya tentang pemikiran, tentang motif.
3. Dari perilaku yang bersangkutan. Hal ini merupakan sumber yang penting
Psikologi sosial di kenal dengan beberapa teori atribusi, diantaranya dikemukakan oleh Jones dan Davis (1965), Kelley (1972), dan Weiner (1972).  
Berikut adalah teori dari tokoh atribusi :
a. Theory Of Correspondent Inference dari Edward Jones dan keith Davis.
Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (Correspondent Inference). Ini berbeda dengan keadaan, dimana banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal yang serupa.
Ada beberapa cara untuk mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik. Pertama, dengan melihata kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang yang bertindak tidak  wajar ( sesuai dengan keiinginan  (social desyrability) sulit untuk di katakan bahwa tindakan itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan sesuatu yang kurang wajar. Contohnya, orang yang berjalan sesuai dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya. Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, tidak patuh aturan. Cara kedua adalah dengan pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak memberikan alternatif lain, atau karna terpaksa, tidak mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari karakternya, tidak patuh aturan. Cara yang ketiga dengan memberikan peran yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan..
b. Model Of Scientific reasoner
Harold Kelley (1972) mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuan, di sebut ilmuan naif. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting. Masing-masing informasi juga harus menggambarkan tinggi/ rendahnya.
· Kekhasan (Distinctiveness). Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam ondisi yang berbeda-beda. Distinctiveness  yang tinggi terjadi bila orang yang bersangkutan mereaksi secara putus pada suatu peristiwa. Misalnya, ia haya ketawa ketika nonton film komedi X, sedangkan ketika nonton film komedi lainnya ia tidak pernah ketawa. Dikatakan Distinctiveness rendah bila ia mrespon sama terhadap stimulus yang berbeda. Misalnya, seseorang selalu tertawa bila melihat film komedi.
· Konsistensi. Konsistensi menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila seseoran merespon sama untuk stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Misalnya, orang yang selal tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Bagio, baik dulu maupun sekarang, disebut konsistensinya tinggi. Sedangkan bila orang tersebut hanya kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Bagio, ia konsistensinya rendah.
· Konsensus. Konsep tentang konsepsus melibatkan orang lain sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti konsesnsusnya rendah. Sedangkan bila orang lain juga melakukan hal sama dangan dirinya berrati konsensusnya tinggi.
Dari ke-empat informasi tersebut di atas, bisa ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelley ada tiga atribusi yaitu:
· Atribusi Internal. Dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya bila Distenctivenesnya rendah,konsesusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
· Atribusi Eksternal. Ditandai dengan Distinctiveness yang tinggi, konsensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi.
· Atribusi Internal/Eksternal yaitu yang disebabkan karena dorongan dari dalam diri orang tersebut dan juga dari luar dirinya. Tandanya adalah Distenctivenes yang tinggi, konsensus yang rendah, dan konsistensinya yang tinggi
· Atribusi keberhasilan dan Kegagalan dari Weiner
Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara lebih umum dari pada teori yang akan di bicarakan pada bagian ini. Weiner dkk. (1972) mengkhususkan diri berteori tentang atribusi dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegaglan dari suatu usaha.
Usaha untuk menerangkan proses atribusi keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami dimensinya. Ada dua dimensi pokok untuk memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal atau eksternal (mirip konsep dari Kelley atau pusat kendali). Dimensi kedua memandang dari segi stabilitas penyebab, stabil atau tidak. Dari kedua dimensi tersebut dapat dilihat adanya empat kemungkinan. Untuk lebih jelas lihat tabel berikut:
Kategori Atribusi Keberhasilan Kestabilan
Kendali
Tidak Stabil (temporer)
Stabil (permanen)
Internal
- Usaha
- Mood
- Kelelahan
- Nasib
- Bakat
- kecerdasan
- karakteristik fisik
Eksternal
- tidak sengaja
- kesempatan
- tingkat kesukaran tugas

Berdasarkan pada tabel diatas, maka dapat dilakukan kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya, mahasiswa yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa disebut sebagai orang ya cerdas, berbakat, atau berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil. bisa juga bukan karena kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal-stabil. Contoh atribusi nternal-tidak stabil adalah pada kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil, co ntohnya adalah orang yang mendapat undian berhadiah.
Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai, yang biasanya sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung sendirian (eksternal stabil).
Pada tahun 1982, Weiner memperluas modal atribusinya dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya penyebab itu terkontrol (kontrolable). Contoh atribusi internal-stabil-tak terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.
B. BIAS DALAM ATRIBUSI
Seringkali proses atribusi menjadi bias karena faktor pengamat sebagai ilmuan naif menggunakan konsep dirinya kedalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor yang berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang dikenal dibawah ini dirangkum dari tulisan Baron dan Berney (1994), serta Worchel dan Cooper (1983).
Bias fundamental atribusi. Didalam memberi atribusi pada pelaku pengamat sering terlalu banyak menekankan faktor-faktor  disposisi daripada faktor situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan menyebabkan bias dalam kesimpulan. Di sisi lain, fokus pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi bukan berarti faktor situasional kurang berperan. Bias aribusi fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh Liiross (1977). Misal dalam kelurahan, salah satu seorang pegawai marah pada seorang penduduk yang ingin memperoleh pelayanan. Orang akan mengambil kesimpulan bahwa pegawai kelurahan merupakan orang yang pemarah, tidak sabar dan sebagainya. Perilaku yang tampak disebabkan karna faktor internaldari yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal tidak dihiraukan. Kesimpulan tersebut mungkin tidak tepat, karena adanya kemungkinan bahwa oang tersebut marah karena memang didorong faktor situasi atau faktor luar, bukan semata-mata karena faktor dalam.
Bias Self-Serving. Ada kecenderungan umum pada setiap orang untuk menghindari celaan karena kesalahannya sayangnya cara yang dipilih untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat, yaitu dengan menimpakan pada situasi diluar dirinya. Misal seseorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan kesalahan pada panitia atau arena. sedangkan bila mendapat keberhasilan dia lebih menekankan bila hal itu adalah karena kemampuannya. Mengapa orang mengambil sikap yang demikian itu, hal tersebut ada beberapa pendapat, yaitu (1) orang mengambil sikap demikian untuk mempertahankan harga dirinya, yaitu bahwa seakan-akan sesuatu yang tidak baik itu disebabkan oleh faktor-faktor yang ada di luar dirinya (Greenberg, dkk. dalam Baron dan Byrne, 1984). Dengan mengambil sikap yang demikian harga dirinya tidak jatuh; dan yang (2) yaitu bahwa denagn mengambil sikap yang demikian itu orang lain akan tetap respek kepadanya, karena hal-hal yang tidak baik itu disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di lar dirinya, sehingga dengan demikian masyarakat akan tetap menghargainya, dan ini yang disebut self-presentation (Weary dan Arkin, dalam Baron dan Byrne, 1984)
Efek pelaku-pengamat. Bias ini terutama muncul pada hubungan antara pelaku dan pengamat yang sudah terjalin baik. Pelaku akan menekannkan bahwa perbuatannya lebih ditentukan oleh faktor situasional, sedangkan menurut pengamat perbuatan pelaku lebih banyak di pengaruhi oleh faktor disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru dengan siswa.
Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil karangan murid, kedua orang ini memiki sudut pandang yang berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid, kegagalan tersebut disebabkan oleh kesibukannya , gangguan dari teman, ruang  yang panas, atau yang lain. Sedangkan guru cenderung menimpakan kondisi ini pada murid itu sendiri. Misalnya kurang membaca bahan, kurang teliti, kurang ada kemauan, dsb.
Relevansi Hedonis. Pengamat sering kurang objektif memberi penilaian terhadap peristiwa yang menyangkut dirinya. Apabila peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan penilaian lebih positif. Sebaliknya, bila peristiwa tersebut kurang menguntungkan dirinya, penilaian menjadi condong negatif.
Bias Egosentris. Sering  dijumpai pula bahwa orang menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi, atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya. Apabila standar diri ini diterapkan dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.
C. Kajian Teoritis menurut pandangan Islam
1.        Teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan perilaku orang lain maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya , seperti dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39-40 :
 dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
40. dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
2.        Tiga dimensi pokok yaitu :
a. lokus yang bermakna apakah penyebab tersebut berasal dari dalam atau dari luar,
b. sabilitas yang mengacu pada apakah penyebab itu konstan atau tidak, dan
c. kemampuan kontrol yang mengacu pada apakah penyebab itu dipengaruhi oleh siswa ataukah tidak. Dalam al-Qur’an surat ar’Rad ayat 11 ;
 bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
3.        Empat penyebab pokok yang menjadi inti dari teori Wainer, yaitu:
a. Ability yakni kemampuan,
b. effort yakni usaha,
c.  task difficulty yakni kesulitan tugas, dan
d. luck yakni kemujuran/keberuntungan. yang kemudian  dikenali sebagai penyebab pokok atau berperan reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku. Dalam al-Quran surat al-Jaatsiyah ayat 15 :
   
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.

Surat Fushshilat ayat 46 :
 Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.


PENUTUP
A. Kesimpulan
Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Teori dari tokoh atribusi antara lain :
1. Theory Of Correspondent Inference dari Edward Jones dan keith Davis.
2. Model Of Scientific reasoner
3. Atribusi keberhasilan dan Kegagalan dari Weiner
Bias dalam atribusi yaitu sebagai berikut bias dalam atribusi, bias self serving, efek pelaku pengamat, menyalahkan diri sendiri, relevansi hedonis, dan bias egosentris.


DAFTAR PUSTAKA

Walgito, Bimo, 2003, Psikologi Sosial (suatu pengantar), Penerbit ANDI, Yogyakarta
Faturochman, 2006, Pengantar Psikologi Sosial, Pustaka, Yogyakarta
Nashori, Fuad, 2002, Agenda Psikologi Islami, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta
Reber S, Arthur,2010, Kamus Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Baharuddin, 2004, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Kepribadian Psikoanalisis menurut Karen Horney dan Teori Kepribadian Psikoanalisis menurut Harry Stack Sullivan

MAKALAH HIERARKI KEBUTUHAN MASLOW